WAKALAH.

WAKALAH.

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A. Latar Belakang

Setiap manusia pasti dibebani oleh berbagaihak dan kewajiban. Seseorang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan kewajibannya  itusecara langsung. Demikian pula dalam hal penerimaan hak-hak. Keperluan akan hal semacam ini semakin terasa manfaatnya, terutama dalam lapangan muamalat yang menuntut peran akan setiap pemilik hak atau setiap pemikul tanggung  jawab.

Tetapi setiap manusia juga mempunyai berbagai masalah dalam kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan dengan kenyataan, bahkan kadang kala mereka tidak dapat menunaikan kewajiban atau menerima haknya secara langsung yang disebabkan oleh halangan-halangan tertentu.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A. Definisi Wakallah

Dalam agama islam dikenal adanya lembaga Wakallah yang berfungsi memberikan kemudahan kepada pihak-pihak yang akan melakukan suatu tugas dimana ia tidak bisa secara langsung menjalankan tugas itu, yakni dengan jalan mewakilkan atau member kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas nama yang mewakilkan atau pemberi kuasa.

Al-Wakalllah atau al-wikallah adalah perwakilan, menurut bahasa artinya Al-Hifdz (penyerahan), Al-kifayah (pencukupan), Al-dhaman (tanggungan),dan Al-tafwidh (pendelegasian) yang artinya juga dengan memmberikan kuasa atau mewakilkan.

Pengertian Wakallah menurut istilah, menurut Hasbi Ash Shiddieqy yaitu bahwwa wakalllah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjukan kepada orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf). Kemudian ada juga beberapa ulama seperti: Sayyid Sabiq, Malikiah, Hanafiah, Syafiah merumuskan tentang pengertian Wakallah, pendapat mereka sangat berfariasi.[1] Tetapi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Al-Wakallah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain atau adanya perjanjian satu orang dengan orang lain, untuk mengerjakan sesuatu. Perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.

  1. B. Dasar Hukum

Menurut agama islam, seseoarang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada  orang lain itu bertindak atas nama orang pemberi kuasa atau yang maewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh di delegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukan kebolehan itu antara lain firman Allah Swt dalam surah Al-Nisa : 35

Artinya : Maka kirimkanlah seorang utusan dari keluarga laki=laki dan bahkam keluarga wanita.

Kemudian dalam surah Al-Kahfi : 19 : Artinya : Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu.

Artinya : Abu Hurairah berkata; “Nabi Saw, telah mewakilkan kepada saya untuk memelihara zakat fitrah, dan beliau telah memberikan seekor kambing kepada Uqbah bin Amir agar dibagikan kepada sahabat-sahabta beliau.”(HR. Bukhari)

  1. C. Rukun dan Syarat Wakallah

  1. Yang mewakilkan, syarat-syarat bagi yang mewakilkan adalah bahwa yang mewakilkan adalah pemilik barang atau dibawah kekuasaannya  dan dapat bertindak pada harta tersebut, jika yang mewakilkan itu bukan pemilik, maka al-wakallah tersebut batal.
  2. Wakil (yang mewakili), syarat-syarat bagi yang mewakili ialah orang yang berakal, bila seorang wakil itu gila atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyyah  anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan yang buruk adlah sah untuk menjadi wakil.
  3. Muwakkal Fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan adalah :
    1. Pekerjaan itu boleh digantikan oleh orang lain untuk mengerjakannya, maka sah mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti sholat, puasa, membaca ayat Al-Quran karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
    2. Pekerjaan itu telah menjadi kepunyaan yang berwakil sewaktu dia berwakil. Oleh karena itu, tidak sah berwakil menjual barang yang belum dimilikinya.
    3. Pekerjaan itu diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar. Seperti seseorang berkata: “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
    4. Shigat, yaitu lafaz mewakilkan, lafaz diucapkan dari yang berwakil sebagai symbol keridhoaannya untuk mewakilkan dan wakil menerimanya.

Yang menjadi wakil tidak boleh berwakil pula kepada orang lain, kecuali dengan izin yang berwakil atau karena terpaksa, umpamanya pekerjaan yang diwakilkan itu amat banyak sehingga tak dapat dikerjakan sendirioleh wakil, maka dia boleh berwakil untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak dapat dia kerjakan.[2]

Berwakallah juga terjadi pda jual beli dan hal ini termaksud yang selalu terjadi, pengertian mewakilkan secara mutlak bukanlah berarti seorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya adalah ia berbuat untuk jual beli dikalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan.

Menurut pandangan mazhab Syafi’I bila yang mewakilkan menyalahi aturan-aturan yang disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut adalah bathil. Sedangkan menurut Hanafi tindakan itu tergantung kepada kerelaan orang yang mewakilkan. Wakil adalah seorang yang dipercayai dari pihak yang berwakiln. Wakil tidak boleh mennjual atau membeli, kecuali dengan uang dan yang sudah biasa diwaktu itu. Tidak boleh pula menjual dengan rugi yang banyak. Dia pun tidak sah menjual barang barang yang diwakilkan kepadanya untuk dirinya sendiri.

  1. D. Berakhirnya Wakallah

Perlu dikemukakan bahwa wakallah bukanlah akad yang berlaku abadi, tetapi menjadi batal atau dibatalkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan wakallah itu menjadi batal atau berakhir yaitu:

  1. Matinya salah seorang adri yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup.
  2. Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal atau berakal.
  3. Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud.
  4. Diputuskannyalah wakallah tersebut oleh salah pihak yang berwakallah baik pihak pemberi kuasa ataupun pihak yang menerima kuasa.
  5. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.[3]

  1. E. Definisi Ijarah

Menurut bahasa ijarah berarti “upah” atau ganti atau imbalan. Karena itu, lafaz ijarahmempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda, atau imbalan kegiatan atau upah karena melakukan suatu aktifitas.

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang artinya menurut bahasanya ialah upah. Dalam arti luas, ijarah yaitu suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Kelompok Hanafiyah mengartikan ijarah yaitu akad yang berisi kepemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah yang disepakati.

Boleh dikatakan pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktifitas antara duua pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau saling meriingankan, serta termaksud salah satu bentuk tolong- menolong yang diajarkan agama.

  1. F. Dasar Hukum

Dasar hukum ijarah yaitu dalam Al-Quran surah Al-Thalaq :6

Artinya : jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka.

Artinya : berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah)[4]

  1. G. Rukun dan syarat Ijarah

Rukun dan syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut :

  1. Mu’ jir dan mustajir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah-mengupah, mu’jir  adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, mustajir  adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu, di isyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh berakal, cakap melakukan tasbarruf (mengendalikan diri) dan saling meridhai.

Bagi orang yang berakad ijarah juga diisyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

  1. Shighat ijab Kabul antara mujir dan mustajir, ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya : “aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000, maka mustajir menjawab “aku menerima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah mengupah misalnya seseorang berkata “kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000,” kemudian mustajir berkata “aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang kau ucapkan”.
  2. c. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihakbaik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
  3. akad. Misalnya : Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang dengan beberapa syarat yaitu :
    1. Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
    2. Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
    3. Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara bukan hal yang dilarang (diharamkan)[5]
    4. Diketahui kadarnya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam menyewa rumahsatu bulan atau satu tahun.
  1. H. Pembatalan dan berakhinya Ijarah

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh (batal) pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akan menjadi batal bila ada hal-hal sebagai berikut :

  1. Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa.
  2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh.
  3. Rusaknya barang yang di upahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
  4. Boleh membatalkan ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa took untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka boleh menfasakh sewaan itu.

BAB III

PENUTUP

  1. A. Kesimpulan

Ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan dari pembahasan ini yaitu :

  1. Al-wakallah atau Al-wikallah adalah perwakilan, menurt istilah wakallah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. Sedangkan ijarah berarti upah atau imbalan.
  2. Dasar hukum wakallah yaitu dalam surah Al-Nisa : 35, Al-kahfi : 19 dan HR. Bukhari. Sedangkan dasar hukum ijarah yaitu dalam surah Al-Thalaq : 6 dan HR. Ibnu Majah. Wakallah dan ijarah memiliki rukun serta syarat-syarat tertentu.

  1. B. Saran

Setiap manusia pasti akan berhadapan dengan kenyataan, dimana apa yang akan kita lakukan tiadak akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan, pastiakan ada halangan-halangan yang akan dilewati. Kejadian-kejadian seperti pembahasan diatas selalu terjadi dalam kehidupan kita, maka dari itu kita harus belajar (mengetahui) bagaimana jalan keluar dari permasalahan yang kita hadapi tanpa harus keluar dari ajaran agama.

DAFTAR PUSTAKA

  1. 1. Al-Qur’anul Karim

  1. 2. Msi Suherdi Hendi H. Drs, Fiqh Muamallah, PT RajaGrafindo Persada : jakarta 2002.
  2. 3. MA Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah,  PT RajaGrafindo Persada 2002 : Jakarta 2002
  3. 4. I’ Doi Rahman A, Syariat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta 1996

[1] Helmi Karim, fiqh muamalah (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002) cet. 3, hal. 20

[2]Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Bandung; Sinar Baru Algensindo, 1994)

[3] Hendi Suherdi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) cet.1, hal 237

[4] HR. Ibnu majah

[5]Hendi Suherdi, Fiqh Muamallah, hal. 117-118

1 Responses to WAKALAH.

  1. yusuf ali berkata:

    latar belakangnya kurang lengkap ….tolong dong di lengkapi….

Tinggalkan komentar